Pengertian Akad Musyarakah
Merujuk pada definisi dari DSN MUI, musyarakah adalah pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Sehingga dalam hal ini akad musyarakah menekankan pada keterlibatan dua pihak yang saling memberikan kontribusi berupa dana. Lain halnya dengan akad mudharabah yang mana satu pihak memberikan dana sedangkan pihak lain berkontribusi dalam bentuk tenaga.
Hal lain yang membedakan antara musyarakah dan mudharabah adalah bahwa ketika terjadi kerugian, pembagian atas kerugian tersebut ditentukan berdasarkan porsi modal. Sedangan mudharabah kerugian ditanggung penuh oleh pemilik modal. Adapun apabila dari perkongsian tersebut memunculkan laba, maka pembagian atas laba tersebut sesuai dengan kesepakatan.
Fatwa DSN MUI terkait Musyarakah
Akad musyarakah telah memiliki fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI yaitu pada Fatwa DSN No: 08/DSN-MUI/IV/2000. Fatwa tersebut dikeluarkan atas beberapa pertimbangan diantaranya:
- Kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan usaha terkadang memerlukan bantuan dari pihak lain yang mana itu bisa tercapai dengan salah satu caranya adalah musyarakah.
- Pembiayaan musyarakah nyatanya memiliki keunggulan baik dari segi kebersamaan juga dalam hal keadilan.
- Bila cara-cara tersebut dapat disesuaikan dengan syariah maka DSN perlu menetapkan fatwa tentang musyarakah agar bisa menjadi pedoman lembaga keuangan syariah (LKS)
Rukun Musyarakah
Ada beberapa rukun yang harus dipenuhi ketika hendak melakukan akad musyarakah. Hilangnya salah satu dari semua rukun yang ada maka akad musyarakah tersebut dapat dianggap rusak. Rukun tersebut diantaranya: Ijab Kabul (Shighat), dua pihak yang berakad, objek akad, dan nisbah bagi hasil.
- Ijab Kabul (shighat)
Pada akad musyarakah, ijab kabul harus dinyatakan dalam akad dengan memperhatikan hal-hal berikut:
- Penawaran dan permintaan harus secara eksplisit menunjukan tujuan akad.
- Penerimaan dan penawaran dilakukan pada saat kontrak.
- Akad dituangkan secara tertulis.
- Dua Pihak yang Berakad (aqidain)
Tidak mungkin sebuah akad dapat terjadi tanpa melibatkan pihak yang berakad. Namun, pada akad musyarakah perlu untuk diperhatikan hal-hal berikut yang penting sehingga akad musyarakah menjadi sah, diantaranya:
- Pihak yang terlibat akad harus cakap akan hukum.
- Kompeten.
- Menyediakan dana dan pekerjaan.
- Memiliki hak mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.
- Memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dengan memperhatikan kepentingan mitranya.
- Tidak diizinkan mencairkan atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
- Obyek Akad (Mauqud Alaih)
Ketika kedua belah pihak hendak untuk melakukan akad, maka hal lain yang harus diperhatikan selain kedua belah pihak tersebut adalah objek akad yaitu modal dan kerja.
Pada bagian modal, ia harus berupa uang tunai atau aset bisnis. Jika modal berbentuk aset, terlebih dulu harus dinilai dengan tunai dan disepakati oleh semua pihak. Kemudian modal tidak boleh dipinjamkan atau dihadiahkan kepada orang lain. Pada prinsipnya tidak boleh ada jaminan pada akad ini. Namun, LKS dapat meminta jaminan sebagai bukti keseriusan atas akad musyarakah.
Lalu untuk objek akad berupa kerja, partisipasi dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah, akan tetapi kesamaan porsi kerja bukan merupakan syarat. Seorang mitra boleh melakukan pekerjaan lebih dari mitra yang lain dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
Setiap mitra melaksanakan pekerjaan atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi harus dijelaskan dalam kontrak.
Nisbah Bagi Hasil (Untung/Rugi)
Musyarakah memang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Namun cara memperoleh keuntungan tersebut harus didasari pada sikap yang adil dan tidak saling menzhalimi. Oleh sebab itu baik dalam hal mengambil keuntungan atau membagi kerugian, akad musyarakah memiliki ketentuannya sendiri.
Lalu, apabila terjadi kerugian maka kerugian harus dibagi di antara para mitra sesuai dengan proporsi modal yang diberikan antar kedua belah pihak. Bila si A menanamkan modal 30 juta dan si B menanamkan modal 70 juta maka ketika terjadi kerugian si A akan mendapatkan porsi kerugian 30% dan si B akan mendapatkan porsi kerugian sebanyak 70%.